Kepulauan Cocos adalah kepulauan milik Australia yang terletak dekat sekali dengan Indonesia. Terletak di Samudera India. Luas Kepualaun ini hanyalah sekitar 14 kilometer persegi. Namun, siapa kira, Kepulauan kecil ini mengisahkan banyak cerita penting dalam sejarah.



Sejarah Kepulauan Cocos Keeling
Kapten William Keeling, adalah seorang pelaut berkebangsaan Inggris yang melihat pulau-pulau itu untuk pertama kalinya pada tahun 1609 ketika akan kembali ke Inggris setelah berlayar dari Jawa. Tapi pulau tersebut tidak berpenghuni hingga abad ke 19, dan hingga akhirnya menjadi milik keluarga Cluiness-Ross. Penjejelajahan secara menyeluruh baru dilakukan oleh Kapten John Cluines-Ross pada tahun 1825. Mungkin kalau orang Jawa mengartikan "penjelajahan" diatas ialah "babat alas". Seperti yang sudah dilakukan oleh sesepuh desa ketika membuka hutan untuk dijadikan tempat tinggal.

Alexander Hare, yang juga mengambil andil dalam penaklukan bersama Stamfford Raffles (penemu Singapura) mendarat dipulau tersebut dengan budak-budak dari Indonesia, Tanjung Harapan dan Asia Timur. Para pekerja bekerja pada kondisi iklim yang baik di Pulau Cocos. Mereka pun dibayar dengan mata uang yang disebut Cocos Rupee. Dan gambar John Cluines-Ross tertera pada mata uang tersebut.

Cocos Rupee. Sayangnya hanya berlaku pada toko pulau setempat.

Jangan pedulikan gambar ini

Pulau ini juga didatangi oleh salah satu tokoh yang paling terkemuka. Pada tahun 1836 tepatnya tanggal 1 April, sebuah kapal yang bernama HMS Beagle mendarat di pulau tersebut dengan salah seorang yang pasti sudah dikenal banyak orang. Ya, orang itu adalah Charles Darwin: Bapak Teori Evolusi.



Sejarah Pulau Cocos berikutnya tak lepas dari peranan fungsi dua pulau penting di Cocos (Keeling) Island, yaitu Direction Island dan Horsburgh. Dan inilah sejarah singkat peranan Pulau Cocos dalam masa-masa Perang Dunia.

A. World War I : Pertempuran Cocos
Pertempuran ini terjadi pada era Perang Dunia I pada tahun 9 November 1914. Adalah seorang Karl von Muller, seorang Letnan Komandan yang mengiginkan kabel dan radio di Direction Island dihancurkan.


Muller memerintahkan sebuah kapal penghancur yang bernama SMS Emdem untuk bergerak menuju Direction Island dan menghancurkan stasiun radio. Direnction Island sendiri terletak di salah satu pulau di Cocos Island. Mengingat pentingnya stasiun radio tersebut karena merupakan penghubung antara Inggris Raya, Australia dan Selandia Baru, maka jelaslah alasan Muller untuk mengirimkan SMS Emdem untuk menghancurkan stasiun radio Direction Island.

SMS Emdem yang kokoh

Namun, beberapa lama kemudian, SMS Emdem harus mengakui keunggulan HMAS Sydney dalam duel antar kapal perang di Kepualuan Cocos.

SMS Emdem yang takluk oleh HMAS Sydney


HMAS Sydney yang lebih kokoh

Penasaran dengan kronologinya? Nah, mari kita baca peristiwa kenapa SMS Emdem bisa tenggelam dan apa saja kejadian yang menyertainya.

Pada saat SMS Emdem sampai pada pulau tersebut pada pukul enam pagi pada tanggal 9 November 1914, limapuluh pelaut dengan senjata ringan menyerbu pulau tersebut dibawah pimpinan Kapten Letnan Hellmuth von Mucke (bukan berarti mukanya kayak neraka ya). Para staff stasiun radio tersebut tidak melawan. Mau melawanpun juga bagaimana, mungkin bagi mereka lebih baik tidak usah macam-macam dulu. Anak istrinya menunggu dirumah.

Hellmuth von Mucke

Mucke lantas mengambil langkah, yaitu menjaga menara radio setinggi 54 meter supaya tidak roboh ketika pulaunya akan di bombardir. Lantas, SMS Emdem memanggil Buresk (nama kapal pengangkut batu bara) untuk bergabung.

Ternyata, sebelum Von Mucke merebut menara komunikasi, rupanya Eastern Telegraph Company sudah mengirimkan sinyal tanda bahaya. 

"Strange ship in entrance" 
"SOS, Emden here"

Sinyal dari Eastern Telegraph Company tersebut rupanya diterima Australian and New Zealand Corps (ANZAC). ANZAC yang ternyata hanya berjarak 80km dari tempat kejadian perkara., segera merespon sinyal bahaya tersebut. ANZAC pun segera mengirimkan (deploy) kapal perang kelas ringan HMAS Sydney sebagai bentuk respon tanda bahaya dari Eastern Telegraph Company.

Duel antara dua kapal perang kelas ringan pun terjadi, antara SMS Emdem dari Jerman melawan HMAS Sydney dari Royal Navy. 

Emdem pun harus dipaksa mengakui keunggulan dari Sydney. Hampir seratus kali tembakan Sydney mengenai Emdem. 

Tentu saja kemenangan itu merupakan mutlak karena Sydney dilengkapi oleh persenjataan dengan jarak yang lebih jauh ketimbang Emdem. Selain itu, Sydney dilengkapi satu pesawat tempur, sedangkan Emdem tidak dilengkapi. Bisa kita bayangngkan, selain mampu menyerang dari laut, serangan Sydney juga bisa mampu menjangkau udara. Sedangkan SMS Emdem tidak. Inilah yang menyebabkan sebanyak 131 orang tewas dan 65 orang terluka dari pihak SMS Emdem, sedangkan dari HMAS Sydney hanya 3 tewas dan 8 terluka. Pertempuran antara dua kapal perang SMS Emdem melawan HMAS Sydney adalah duel kapal perang pertama pada era Perang Dunia I

Pesawat tempur Sopwith Up yang merupakan fasilitas dan kelebihan HMAS Sydney

Lalu bagaimanakah nasib dua Letnan Komandan von Muller dan von Mucke?
 
Nasib Karl von Muller
Setelah Emdem dibombardir oleh Sydney, ia pun memutuskan untuk menepikan Emdem di pulau North Keeling untuk menghindari tenggelam pada pukul 11 pagi.

North Keeling Island (jarak jauh)

Karena tidak melihat tanda menyerah dari pihak Emdem, HMAS Sydney lantas menyerang kembali kapal yang sudah hampir tenggelam tersebut. Muller dan beberapa awak yang selamatpun ditangkap, dan ditawan di kamp tahanan khusus untuk para tawanan serdadu Jerman (bedakan dengan maksud "milik Jerman", melainkan penjara khusus orang Jerman) di Midland. Tiga tahun setelah kekelahannya dalam Pertempuran Cocos, ia memimpin usaha pelarian diri bersama 21 tawanan lain. Namun sayang, lagi-lagi ia berhasil ditangkap. 

Dia terserang malaria, dan iklim di Inggris benar-benar tak bersahabat untuk pemyakit malarianya. 

Akhirnya, pada tahun 1918,  dipulangkan lagi ke Jerman setelah sebelumnya mendapat perawatan medis di Belanda untuk pertukaran tawanan kemanusiaan. Dan pada 11 Maret 1923, ia resmi meninggal dunia.


Nasib Hellmuth von Mucke
Ketika HMAS Sydney menaklukan SMS Emdem, ia dan beberapa rekan kelompoknya melihat dengan mata kepala mereka sendiri kehancuran SMS Emdem dari jarak 17 mil. Melihat kapal perang kebanggan mereka hancur, mereka merasa sudah tidak ada harapan lagi. 

Tapi mereka rupanya tidak patah arang, mereka mengumpulkan persediaan yang masih ada dan menyita three masted schooner untuk melarikan diri. Three masted schooner rampasan itu diberi nama Ayesha. Jika pembaca ingin tahu seperti apa itu schooner, saya akan memberikan gambar untuk three masted schooner. 




Dan berikut ini schooner lain yang berjumlah berbeda

Seven masked Schooner

Six masted Schooner

Dan inilah Three masted Schooner AYESHA yang ditunggangi oleh Mucke and the gangs

Ayesha

Dasar muke gile, Mucke membuat prestasi pelarian yang mengagumkan. Ayesha miliknya dilengkapi dengan 29 senapan, dan empat senapan mesin berat. Dan tidak ada seorangpun lelaki yang diberitakan mengalami rindu istri. Hanya kehilangan satu orang karena penyakit, dan tiga orang lainnya tewas karena musuh. Jarak yang ditempuh dari daratan ke lautan ialah sejauh 11.000 kilometer. Mereka berlayar ke Padang. Dari Padang menuju Yaman, dari Yaman menuju Arab Saudi dan Medina. Di Laut Merah mereka diserang suku Badui yang oleh Mucke dianggapnya suku-suku tersebut telah disewa oleh Inggris karena didasari atas senjata yang digunakan oleh Badui tersebut. Dalam pertempuran melawan ratusan Badui selama tiga hari, satu perwira dinyatakan tewas dan dua orang lainnya tewas. Perjalanan diakhiri pada bulan Mei 1915, dari Turki, ia lantas kembali ke negara asalnya, Jerman. Pada tahun 1950, Hellmuth von Mucke menjadi aktivis perdamaian, namun sayang, tujuh tahun kemudian pada 30 Juli 1957, ia meninggal karena serangan jantung.

Dan selesailah sejarah Cocos Island dalam Perang Dunia I

B. World War II
Selama Perang Dunia II, setasiun kabel sekali lagi menjadi link yang vital. Perencana pihak sekutu mencatat, bahwa pulau-pulau disekitar Cocos Island akan dirampas oleh Jerman untuk digunakan sebagai "base" kapal penjelajah yang beroperasi di Samudera Hindia. 

Setelah masuknya Jepang sebagai "kontestan" Perang Dunia II, Pasukan Jepang tidak menduduki pulau-pulau "tetangganya". Untuk menghindari Pasukan Jepang mengalihkan perhatian ke Stasiun kabel Cocos dan garnisum perusahaan, landasan pesawat amfibi antara pulau Direction dan Horsburgh pun tidak digunakan. Pemancar radio pun hanya digunakan pada saat darurat, jika tidak dalam keadaan darurat, maka tidak digunakan, supaya tentara Jepang perhatiannya tidak menuju Pulau Cocos. Uniknya, Jepang sendiri sepertinya tidak bernafsu untuk menduduki pulau yang merupakan sarana komunikasi Sekutu yang pernting. Mereka hanya mengirimkan sebuah pesawat mata-mata tiap sebulan sekali. 

Untung baru pesawat, coba kalau Ultraman


Pada tahun 1942, Singapura jatuh. Pulau-pulau tersebut diberikan kepada Srilanka (Ceylon). Tapi tetap saja, Pulau Barat dan Direction ada dibawah Sekutu. Sedangkan penduduk aslinya ada di pulau yang bernama Home Island, penduduk lokal menyebutnya dengan Pulu Selma. Jika Anda ingin melihat kembali dimana letak Home Island, sudah saya sertakan gambarnya dibawah.


Sejarah Pulau Cocos era Perang Dunia II merupakan kumpulan dari beberapa peristiwa penting yang terjadi. Terdapat pemberontakkan dan beberapa sejarah seperti serah terima. Tercatat ada pemberontakkan pada tahun 1942, pada tanggal 8 hingga 9 Mei, yang dilakukan oleh Ceylon Defence Force (Pasukan Pertahanan Srilanka) karena diprovokasi oleh ulah perwira Inggris. Walaupun begitu, ada kecenderungan bahwa pemberontakkan tersebut semata-mata hanya benci kepada kaum imperialis. Berikut adalah catatan singkat mengenai pemberontakkan tersebut.

Pada suatu malam pada tanggal 8 Mei, lima puluh enam personil Ceylon Garrison Artillery di Pulau Horsbrugh memberontak untuk menyerahkan pulau-pulau tersebut pada Jepang. Pemberontakkan tersebut dipimpin oleh Gratien Fernando dengan rencana sebagai berikut:
"Menangkap Kapten Gardiner dan Letnan Stephens, menguasai persenjataan musuh, lalu mengirim sinyal ke Jepang yang berada di Pulau Natal (dekat Australia)."

Namun sayangnya, pemberontakkan itu berhasil dipadamkan karena pmebrontaknya kurang kemampuan dalam menggunakan senjata. Bahkan senjata Bren pun macet tatkala ada situasi yang penting sudah ada di depan mata.

Pada tanggal 5 Agustus 1942, pemimpin pemberontakkan, Gratien Fernando, dijatuhi hukuman mati.




Masalah lain pun datang tatkala Kaidai V I-166 memborbardir pulau tersebut pada tanggal 25 Desember 1945.

Kaidai sendiri adalah kelas kapal selam nomor satu yang dimiliki oleh Angkatan Laut Jepang, dan track record dari Kaidai V I-166 cukup baik,  sudah menenggelamkan beberapa kapal lainnya. Anda bisa melihat sejarah I-166 dengan mengklik link disini.

Tapi, anehnya, sekalipun I-166 membombardir pulau-pulau tersebut, ternyata tidak membawa kerusakan apa-apa. Sebaliknya, tiga tahun kemudian, I-166 ditenggelamkan oleh HMS Telemachus milik Inggris pada tanggal 17 Juli 1945.

HMS Telemachus

Beberapa tahun setelahnya, pada 23 November 1955, Pulau-pulau tersebut (Direction dan Horsburgh) serahkan kepada Australia dibawah Undang-undang Cocos (Keeling) Island 1955.

Hingga saat ini, Cocos (Keeling) Island menjadi milik Australia.

Cocos (Keeling) Islands saat ini
Pada tahun 2010, penduduk Pulau Cocos hanya lebih dari 200. Terbagi antara kaum Eropa dan Melayu. Bahasa yang digunakan pun Melayu dan Inggris. Delapan puluh persen agama yang dianut oleh penduduknya adalah Islam Sunni. 

Banyaknya karang pada wilayah pulau Cocos mendorong wisatawan asing untuk menikmati kekayaan lautnya.

Sunset di Cocos (Keeling) Islands

Ada empat stasiun Televisi di Pulau Cocos,  dan ada dua sekolah di Pulau Cocos: terletak di West Island dan Home Island.

Sejarah mengenai Pulau Cocos sendiri rupanya juga mampu menginspirasi penulis. Seorang novelis Indonesia pernah menuliskan sebuah cerita yang terinspirasi sejarah perang pulau Cocos (The Battle of Cocos). Mengisahkan seorang Jawa yang diutus oleh penguasa Belanda di Indonesia untuk memimpin salah satu daerah di Jawa. Ternyata kapal si lelaki tersebut terdampar di Pulau Cocos. Ketika ia melihat penduduknya yang mayoritas melayu dan ada yang bisa bahasa Jawa, ia mengira sudah sampai di tanah Jawa. Ia pun mendatangi pemimpin di pulau tersebut dan lantas mengatakan bahwa ia diutus pemimpin Belanda untuk menjadi pemimpin daerah tersebut(padahal ia mendarat di pulau Cocos bukan di Jawa seperti yang ia pikirkan). Dan terjadilah perdebatan antara pemimpin asli pulau Cocos tersebut dan lelaki Jawa tersebut. 

Kepulauan Cocos. Sebuah Kepulauan yang kecil, namun mampu mengisahkan banyak kisah penting. 

0 comments:

Post a Comment

 
Top